الخميس، 18 أبريل 2013

Menjadi Pelangi Bagi yang Lain



Akhlaq adalah kenyataan hari ini. Tetapi terkadang kita selalu mengatakan, “inginnya saya tidak memiliki rasa benci pada seseorang, inginnya saya selalu menjadi yang pertama dan selalu berada di shaff pertama saat shalat berjamaah, inginnya saya selalu bisa shalat malam, inginnya saya selalu bisa melaksanakan puasa sunnah, inginnya saya selalu bisa berbagi, inginnya saya selalu bisa membantu,” dan berbagai macam keinginan lainnya. Kita selalu mengatakan INGIN, tetapi tidak tau kapan merealisasikannya?? Akhlaq adalah kenyataan, bukan sekedar keinginan. Dia dilakukan, bukan sekedar angan-angan.

Yang perlu diperhatikan disini adalah, bahwa ada pengaruh dalam menentukan terlaksana atau tidaknya suatu keinginan. Dan itu bisa berasal dari dorongan internal maupun eksternal. Dorongan internal berasal dari diri kita sendiri, ketika kita sudah memahami bahwa dengan berakhlaq baik kita akan mendapat pahala yang besar maka dorongan itu akan muncul dengan sendirinya. Dorongan eksternal berasal dari lingkungan. Dorongan ini diperlukan supaya kita bisa “memaksa” diri untuk merespon suatu persoalan dengan tenang yang tertuang dalam akhlaq yang baik. Contoh sederhana, agar kita bisa menjadi orang sabar, maka harus ada faktor eksternal yang tidak menyenangkan, seperti bersahabat dengan orang yang tidak menyenangkan. Jika kita berteman dengan orang yang tidak menyenangkan dan selalu menyusahkan orang, maka akan ada banyak kesempatan bagi kita untuk berlatih sabar. Lalu, jika kita selalu berteman dengan orang-orang yang baik, yang menyenangkan, bisakah kita berlatih untuk bersabar? Bisa... Yaitu bersabar untuk menjadi teman yang sebaik dia pula. Karena berusaha untuk selalu menjadi baik juga merupakan sebuah kesabaran.

Ketika ada teman yang baik, dan dia selalu berbuat baik kepada kita, apa yang biasanya kita lakukan? Membalas kebaikannya dengan yang lebih baik atau justru memanfaatkan kebaikannya? Ini merupakan bentuk ujian, Allah ingin mengetahui, respon (akhlaq) seperti apakah yang akan muncul dari dalam diri kita ketika kita dibersamakan dengan sosok yang baik. Dan sebaik-baik manusia adalah yang membalas kejelekan dengan kebaikan dan membalas kebaikan dengan yang lebih baik.

Lalu bagaimana kita merubah keinginan kita menjadi kenyataan?? Orang mukmin yang baik adalah orang yang mau bergaul dengan siapa saja dan sabar. Sabar dengan segala keadaan dan teman yang bermacam-macam karakter. Rasul pernah bersabda, bahwa orang-orang seperti ini lebih baik dibandingkan orang yang menyendiri dan rajin dengan ibadahnya. Tetapi seringkali kekhawatiran bermunculan dalam diri kita, terkadang kita berfikir, bahwa kita akan terbawa jelek ketika berada dilingkungan yang jelek. Jika kita merasa seperti ini maka sebenarnya kita sudah jelek sebelum kejelekan itu datang. Seharusnya kita menumbuhkan budaya positive thingking dalam diri kita, kuat dan bertahan dengan kebaikan yang ada di dalam diri kita. Agar kita bisa menjadi pelangi bagi yang lain.

Bukankah kita akan menjadi orang yang lebih berharga dimata orang lain ketika kita menjadi orang baik dilingkungan yang jelek dibandingkan menjadi orang baik dilingkungan yang baik? Manakah yang akan memberikan hamparan pahala lebih luas, baik dilingkungan baik, atau baik dilingkungan jelek?

Lalu bagaimana supaya kita bisa menjadi baik, bukankah kekhawatiran itu selalu ada? Dan kekhawatiran ini adalah manusiawi. “Bagaimana saya bisa baik jika saya berada di tengah orang-orang yang keras?”, “bagaimana saya bisa lembut jika saya berada di tengah orang-orang yang kasar”. 
Jangan gantungkan kebaikan kita pada apapun diluar diri kita. Sebab orang yang menggantungkan kebaikan pada apa yang ada diluar dirinya, justru akan membuatnya menjadi tidak baik. Tetapi, kuat dan bertahanlah dengan kebaikan yang ada di dalam diri kita.

Tetapi diluar sana, banyak juga orang yang menggantungkan kebaikannya pada waktu, “Nanti deh, baiknya pas ramadhan aja....” Ada juga yang berdasarkan tempat, “Saya akan baik jika saya berada di tempat yang baik....” jangan pernah menggantungkan kebaikan pada sesuatupun, tetapi lakukanlah kapanpun, dimanapun, ketika bersama siapapun. Karena Allah akan menilai setiap jengkal langkah kita dalam beramal. Dan Rasul adalah sebaik-baik tauladan...

Bumi Allah, 18 April 2013

الجمعة، 15 مارس 2013

Menyatukan Kebaikan dan Kebenaran dengan Dzikir dan Tafakkur


Mana yang semestinya harus didahulukan, menjadi orang baik baru menjadi orang benar? Atau menjadi orang benar dulu baru menjadi orang baik?

Orang benar pasti baik, tapi orang baik belum tentu benar (dari segi cara). Contoh orang baik tapi tidak benar, pencuri yang menyedekahkan hasil curiannya. Mana yang lebih buruk? Orang yang menyimpan kebencian dan memperlihatkan di wajahnya atau orang yang menyimpan kebencian tapi tidak memperlihatkannya? Point kedua pasti lebih baik, tetapi juga akan tergantung pada tujuan tidak memperlihatkannya itu karena sabar atau karena pura-pura baik.

Lalu bagaimana kita mempertemukan kebaikan dan kebenaran? Dimana? Susu itu enak. Kopi juga enak. Ketika keduanya disatukan maka akan menjadi lebih enak. Dimana kita bisa menyatukan susu dan kopi? Di dalam gelas. Sedangkan kebaikan dan kebenaran hanya akan bertemu dalam cawan kehidupan bernama DZIKRULLAH.

[Qs. Ali Imran [3] : 191 ] “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” dan [Qs. An Nuur : 36] “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang” orang yang senantiasa berdzikir dan bertafakkur dia tidak pernah tidur dalam hidupnya. Dia selalu berdzikir di setiap waktu.

Mungkinkah kita bisa berdzikir sendirian? Pada saat kita berdzikir adakah pada saat itu kita merasa sendirian? Tidak. Kenapa? Ketika kita melihat bunga, apa yang kita ucapkan? Subhanallah... Kita tidak berdzikir sendirian, tetapi kita berdzikir bersama bunga. Mana yang lebih terasa, mengucapkan Alhamdulillah ketika pikiran kita kosong atau mengucapkan Alhamdulillah sambil memikirkan nikmat Allah yang telah di anugerahkan kepada kita. Tentu lebih terasa point kedua. Itulah kenapa dzikir harus dipertemukan dengan tafakkur.

Kita tidak bisa berdzikir sendirian. Tetapi kita akan bisa berdzikir ketika bersama dengan yang lain. Apakah yang lain itu, yang lain itu ada 3 :
1. Ma’al ‘alam (dzikir bersama alam)
2. Ma’an hadast (dzikir bersama peristiwa)
3. Ma’al ‘amal (dzikir bersama amal)

Kenapa kita berdzikir dengan ketiga hal tersebut, karena kita tidak pernah terlepas dari ketiganya. Kita tidak pernah terlepas dari alam. Kita tidak pernah terlepas dari peristiwa. Dan kita tidak pernah terlepas dari amal. Dan ketiganya (alam, peristiwa, dan amal) juga selalu berdzikir kepada Allah. Apa saja yang ada di langit dan bumi itu selalu berdzikir kepada Allah. Tanpa kita sadari, langit, lautan, gunung, pepohonan, air, bunga, rerumputan, burung, ikan-ikan di dasar lautan bahkan semut, mereka selalu berdzikir kepada Allah.

Bagaimana agar berdzikir menjadi lebih nikmat, yaitu dengan diikuti tafakkur. Berdzikir bersama alam, peristiwa dan amal. Ketika kita berdzikir setelah shalat, bayangkanlah bahwa kita sedang berdzikir bersama amal, yaitu amal berdzikir setelah shalat. Ketika kita shalat dalam keadaan pening, maka berdzikirlah bersama perasaan pening tersebut. Ketika kita rihlah maka berdzikirlah bersama pemandangan indah disepanjang perjalanan, dll.

Semoga bermanfaat. Semoga di anugerahi hati, lisan dan fisik yang selalu berdzikir dengan disertai tafakkur kepada Allah. Supaya hati kita bisa menjadi hati yang selamat ketika menghadap Allah. Aamiin.

“Jangan Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan (yaitu) pada hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna. Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih” [Qs. Asy Syu’araa [26] : 87-89 ]

Bumi  Allah, Jumu'ah Mubarak 15 Maret 2013
Ketika jiwa begitu segar setelah mendapat “inspirasi” dari Ustadz Yusuf Mansyur @Maskam UGM


الأربعاء، 13 مارس 2013

Memahami Takdir dan Hukum


TAKDIR dan HUKUM. Peristiwa di dunia itu ada yang murni hukum, murni takdir, atau gabungan keduanya. Misal; Disakiti itu takdir. Karena kita tidak menginginkan untuk disakiti. Sedangkan menyakiti adalah pilihan sehingga dia masuk ranah hukum, pilihan, mau menyakiti atau tidak. Sedangkan peristiwa gabungan antara takdir dan hukum misalnya adalah; kaya itu takdir, tetapi ada aspek hukum didalamnya. Apakah kaya itu baik? Tergantung. Apa ranah hukumnya? Pada sikap orangnya. Apakah kekayaannya dimanfaatkan untuk kebaikan atau keburukan. Kaya itu takdir, dan memanfaatannya di jalan Allah atau tidak itu adalah pilihan (hukum).

Takdir terbagi menjadi dua, TAKDIR BAIK dan TAKDIR BURUK. Begitupula dengan hukum, ada HUKUM BAIK dan HUKUM BURUK.

Jika ada orang yang menjalani hidup dengan baik, itu adalah hukum, karena itu adalah pilihannya. Sehingga sangat wajar orang yang menjalani hidup dengan baik mendapat takdir yang baik. Kaya itu adalah takdir. Rizki itu adalah takdir. Tetapi banyak juga orang yang kaya tetapi lebih memilih menjalani hidup dengan cara yang buruk.

Mana yang menjadi fokus kita? HUKUM (semangat belajaaaaaaaar!). Karena takdir masuk dalam wilayah Allah dan manusia tidak memiliki kuasa dalam ranah ini. Bagaimana caranya agar kita bisa memasuki wilayah hukum yang baik? Dengan HATI. Karena di hati itulah nanti akan ditentukan segala sesuatu. Berada di lingkungan teman-teman yang baik itu adalah pilihan, tetapi kita tetap tidak akan pernah terlepas dari teman-teman yang tidak baik karena itu adalah takdir. Saya ingin A, tapi di atas saya ada takdir, sehingga bisa jadi saya akan mendapatkan B karena takdir saya adalah B.

Hati kita harus menjadi hati yang kuat dan elastis sehingga dia bisa menampung apapun seberat apapun. Untuk menjadi kuat dan elastis dia harus dibungkus dengan sebuah lapisan. Apa lapisan itu? IKHLAS.

Jangan menjadi hati yang sempit (tidak lapang) karena dia tidak akan bisa menampung berbagai macam cobaan. Analoginya; kita memiliki rumah tipe 21. Lalu kita mendapat hadiah furniture, kulkas, tempat tidur, lemari, perlengkapan dapur, perlengkapan ruang tamu, mobil, dll. Mana cukup? Karena rumah kita sempit.

Ikhlas bisa di dapat dengan attadrib (latihan). Kita bukan hanya sekedar berlatih tetapi juga memahami hukum ikhlas itu sendiri. hukum menjalani latihan untuk ikhlas itu sama seperti mendaki gunung. Mendaki gunung itu ringan di awal, tetapi kemudian semakin berat dan semakin berat ketika mendekati puncak. Ikhlas adalah menjalani apa yang sudah menjadi ketentuan kita. Misal; kita dihina, itu adalah takdir, dan kita diberi pilihan untuk membalasnya atau tidak. Ketika kita ikhlas, maka kita akan bisa menerimanya dan memaafkan orang yang telah menghina kita.

Contoh; ada seorang ibu A yang tidak disukai oleh ibu B, ibu B selalu menghina dan memfitnah ibu A. Lalu apa yang ibu A lakukan. Beliau membuat makanan terbaik dengan bungkusan terbaik dengan penuh keikhlasan dan mengirimnya kepada ibu B. Subhanallah. Karena ibu A ikhlas atas perlakuan ibu B. Kenapa ibu A melakukannya? Karena ibu A ingin membantu ibu B agar dia mengurangi keburukannya, dengan mengurangi keburukan ibu B maka akan membantu mengurangi siksaan ibu B di alam akhirat. Subhanallah.

Salah satu cara Allah menghukum manusia adalah dengan membiarkan manusia melakukan keburukan, kenapa? Karena dengan melakukan keburukan, berarti akan memberatkan hukuman mereka di akhirat. Astaghfirullah.

Quote: melakukan keburukan adalah hukuman Allah pada seorang hamba. Karena dengan melakukan keburukan, berarti akan memberatkan hukuman mereka di akhirat. Tetapi dia bisa menjadi pilihan (hukum). Yaitu dengan melakukannya atau tidak? Which one do you prefer to do?  

Bagaimana agar kita bisa mencapai ikhlas hingga puncak? Yaitu dengan istiqomah ikhlas dalam menghadapi berbagai macam cobaan keburukan.

Bumi Allah, 14 Maret 2013

Mengolah Kebaikan dan Keburukan TOTAL Menjadi Sebuah Kebaikan


Hidup itu selalu ada dua pilihan, BAIK dan BURUK. Tetapi kebaikan dan keburukan tersebut ada yang masuk ke dalam hati dan ada yang tidak. Misal; melihat kamar rapih, maka hati akan merasa senang melihatnya. Bukti masuk ke dalam hati adalah “senang”. Misal; terpeleset kulit pisang di depan ikhwan, bukti masuknya ke dalam hati adalah “malu.” Misal; kehilangan uang 500 ribu, bukti masuknya ke dalam hati adalah “ikhlas” dan begitu seterusnya. Semua akan berbuah kepada kebaikan jika masuk ke dalam hati.

Kebaikan atau keburukan (peristiwa) yang masuk ke dalam hati kemudian akan keluar dalam bentuk AKHLAK (respon). Akhlak yang muncul bisa berupa akhlak baik atau akhlak buruk. Apakah yang baik akan menjadi kebaikan, dan apakah yang buruk akan menjadi keburukan, atau sebaliknya. Misal; dipuji itu baik, karena kita telah melakukan kebaikan, tetapi apakah kemudian dia bisa menjadi kebaikan? Yaitu dengan menjadi lebih tawaddu’ dengan “sembunyi-sembunyi dalam melakukan kebaikan supaya tidak terlihat sehingga tidak dipuji atau justru berubah menjadi kesombongan.

Ada 3 komponen yang harus dimiliki agar hati kita bisa memilih dan mengolah kebaikan dan keburukan TOTAL menjadi sebuah kebaikan:
1.  Al Ilmu (akal), merupakan sesuatu yang bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Cara hati mengolah yang baik dan buruk itu berbeda. Misal; ketika kita dihina orang kemudian sedih, hati akan mencerna, apakah sedih ini baik? Jika tidak, maka dia akan merubah kesedihannya menjadi kesenangan dan keikhlasan. Misal; Ketika melihat dosa apakah masih menjadi sesuatu yang menarik? Melihat akhwat, nonton konser, nonton film korea, apakah masih menjadi hal yang menarik ketika sudah faham bahwa semua itu tidak ada manfaatnya untuk kehidupan akhirat dan hanya akan membuang waktu?
2.  Az Zakiyyu (bersih), bersih dari segala penyakit-penyakit hati. Orang yang dihatinya ada penyakit maka tidak akan bisa menjadikan kebaikan dan keburukan menjadi kebaikan. Bisa jadi hati yang memiliki penyakit menjadikan peristiwa kebaikan menjadi sebuah keburukan. Misal; ada seorang pejabat yang hatinya sombong. Suatu saat dia datang ke sebuah agenda dan panitia tidak ada yang mengenalinya sehingga dia dipersilahkan untuk duduk di belakang bersama orang-orang yang tidak penting, kemudian dia marah dan menggerutu. Tetapi orang yang bersih dari kesombongan maka dia akan tawaddu’, ketikapun dia dipersilahkan duduk dibelakang “it’s OK, it doesn’t matter” bahkan menyalami mereka yang ada disampingnya dengan senyum ramah, ketika ada panitia mengetahui bahwa dia adalah seorang pejabat, kemudian panitia menyilahkannya untuk duduk di depan, dia memilih untuk menolak dan lebih memilih untuk duduk di belakang.
3.   Ikhlas, ikhlas berkenaan dengan hal-hal yang tidak disukai oleh hati tetapi kita ikhlas menerimanya. Sesuatu yang muncul dari keburukan itu jauh lebih bernilai dibandingkan yang keluar dari kebaikan.

Kebaikan itu ada dua macam:
  1. Al Khair Al Intihaa Iyyu, adalah kebaikan yang berhenti. Berhenti yang dimaksud adalah pahala yang didapat hanya sekali saja ketika amal tersebut dilakukan. Misal; shalat malam, maka pahalanya saat itu, ketika kita melakukannya. Misal; shalat jenazah, pahalanya didapat pada saat itu, ketika kita shalat, tetapi tidak menjadi masalah, karena walaupun hanya sekali pahalanya sangat besar. Rasul pernah menyebutkan bahwa pahala melakukan shalat jenazah adalah 1 qirat (satu gunung uhud). Misal; sebelum kelas kita biasa membaca surah-surah pilihan, jika kita membacanya dengan sungguh-sungguh maka kita akan mendapatkan pahala, berbeda dengan yang membacanya sambil tidur-tiduran atau malas-malasan.
  2. Hair Al Jaariyyuadalah kebaikan yang mengalir tiada henti. Misal; orang yang membangun masjid, masjidnya sekali dibangun, tetapi pahalanya akan terus mengalir selama masjid itu ramai difungsikan. Misal; kita mengajari seorang anak surah Al Fatihah, bahkan hingga dia menghafalnya. Maka pahalanya akan terus mengalir selama sang anak terus membacanya. Jika sang anak melanjutkannya dengan mengajarkannya ke anak lain, maka pahala yang akan mengalir akan menjadi lebih banyak. Barangsiapa yang merintis satu kebaikan, kemudian banyak orang yang mengikutinya, baginya pahala apa yang dia lakukan dan pahala orang-orang yang mengikutinya dan pahala itu tidak dikurangi sedikitpun. Termasuk ketika kita mengajak teman pada kebaikan. Jika dia terus melakukan kebaikan yang kita ajarkan atau yang kita contohkan, maka dia akan menjadi pahala yang akan terus mengalir selama kebaikan itu terus dilakukannya. Amal jariyyah itu modalnya hanya di awal... di akhirat nanti akan ada orang yang keheranan dengan pahala yang dimilikinya, dia akan mengatakan, “aku tidak melakukan banyak kebaikan, tetapi kenapa pahalaku banyak sekali?” inilah berkah amal jariyyah.
Semoga tulisan ini menjadi amal jariyyah yang akan mengalirkan pahala tiada henti, aamiin... Dan semoga kalian yang membacanya bisa mengajarkannya kepada yang lain sehingga ketika yang kalian ajarkan bisa memasukkan apa yang kalian ajarkan ke dalam hatinya maka kalian akan mendapatkan pahala dari mereka yang mengikutinya, aamiin

Bumi Allah, Kamis 14 Maret 2013


الاثنين، 11 مارس 2013

Al Muflikhun, Memenangkan Hati atas Nafsu dan Iblis

Pembahasan kali ini merupakan tafsir dari Qs. An Nur : 51

Sesungguhnya jawaban orang-orang mu'min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan Kami mendengar, dan kami patuh Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” (Qs. An Nur [24] : 51)

Dalam menjalani hidup, manusia membutuhkan Annur (cahaya) agar kelak bisa sampai ke rumah akhirat (syurga) dengan selamat. Tidak mungkin kita bisa sampai ke tempat yang kita tuju dengan kondisi jalan yang gelap bukan? Pertanyaannya, apakah kita sudah menggenggam cahaya itu?

Orang-orang yang benar-benar beriman, mereka akan selalu mengatakan sami’na wa’ato'na “kami mendengar dan kami taat” sampai kapanpun. Mereka inilah para Muflikhun (pemenang).

Apakah kita sudah termasuk dalam golongan Al Muflikhun? Orang yang Muflikh (menang)? Jika kita sudah menjadi Al Muflikhun maka kita sudah menggenggam cahaya itu. Al Muflikh berasal dari kata Al Falakh yang berarti menang. Kemenangan disini bermakna kemenangan kebaikan atas keburukan, kemenangan cahaya atas kegelapan atau kemenangan hati atas nafsu dan iblis.

Contoh sederhana: Setiap kali adzan, kita akan mendengar khayya ‘alal falaakh “Mari raih kemenangan”. Kemenangan disini bermakna kemenangan hati atas nafsu dan iblis. Yaitu dengan mendirikan shalat. Mereka yang bersegera untuk berwudhu ketika adzan adalah mereka yang telah memenangkan hati mereka atas nafsu dan iblis. Sedangkan mereka yang bersantai ria dan menunda-nunda waktu shalat ketika sudah ada panggilan adzan maka mereka inilah yang masih dikalahkan oleh nafsu dan iblis.

Then, how to be Al Muflikhun? Untuk menjadi seorang Muflikhun kita harus memahami bagaimana agar bisa menang (Al Falakh). Untuk menjadi pemenang kita memerlukan musuh. Tidak mungkin kita bisa menjadi pemenang tanpa adanya kompetitor bukan? Lalu siapa musuh kita? Musuh di dalam diri dan Musuh di luar diri :

1. Musuh di dalam (NAFSU)
Nafsu merupakan pintu pembuka kemakshiyatan. Dia lebih cenderung membisikkan manusia pada keburukan. Ketika nafsu tidak bisa dikendalikan maka akan dengan mudah syetan membuka benteng pertahanan iman kita. Syetan selalu siap siaga menjaga nafsu kita, ketika nafsu sudah membukakan pintunya maka syetan akan segera masuk dan mengendalikannya, sehingga pada ahirnya kita berada dalam kendali syetan. Contoh sederhana: ingin jalan-jalan ke Book Fair adalah keinginan nafsu, maka kita penuhi, karena nafsu ini memang fitrah yang dimiliki manusia. Tetapi ketika nafsu ini meminta kita untuk membeli berbagai macam hal yang sebenarnya tidak dibutuhkan, maka ini sudah masuk dalam kendali syetan. Tidak mengapa kita memenuhi keinginan nafsu, tetapi yang harus diperhatikan adalah kita harus menjaganya agar tidak tercampur oleh keinginan syetan (pembahasan lebih lanjut akan dikupas dalam artikel berikutnya) dan kita harus bisa membedakan mana keinginan nafsu dan mana keinginan syetan. Lalu bagaimana cara menghadapi musuh di dalam diri ini (nafsu)? Dengan Islahun Nafs yaitu memperbaiki nafsu dengan sami’na wa’ato’na (mendengar dan taat) pada hukum Allah.

2. Musuh di luar (IBLIS)
Iblis adalah salah satu nama dari golongan  jin yang membangkang ketika Allah memerintahkan malaikat (yang ketika itu iblis dan golongan jin juga ada disana) untuk bersujud kepada Nabi Adam. Jin yang berada dalam kendali iblis (jin yang jahat) kemudian disebut sebagai syetan (hizbusyaeton). Iblis diberi kewenangan oleh Allah untuk menggoda manusia melakukan keburukan hingga hari kiamat dengan kompensasi mereka akan masuk ke dalam neraka, tentu saja bersama manusia yang mengikutinya. Tetapi tidak bagi manusia yang tetap menjaga keimanannya. Mereka inilah para Muflikhun dan para pemilik qalbun salim.  Contoh sederhana: seorang ikhwan dipertemukan dengan wanita-wanita cantik, ini adalah takdir, dipertemukan disini hanya sebatas bertemu di jalan, ikhwanpun bisa memilih apakah dia akan memandangi mereka atau memilih untuk ghadul bashar. Dalam kondisi seperti ini, syetan akan menyulutkan korek apinya dengan membisikkan si ikhwan untuk memandangi wanita-wanita tersebut. Ketika dia ikhlas dan bersabar dengan takdir ini dan istiqomah dengan ketaatannya untuk menjaga pandangannya serta menepis bisikan syetan ditelinganya maka dia telah memenangkan hatinya atas nafsunya. Lalu bagaimana cara menghadapi musuh dari luar (Iblis)? Dengan Islahun Hayati yaitu memperbaiki hidup dengan al akhlash ‘alal qadar (ikhlas terhadap takdir). Ikhlas terhadap ketetapan-ketetapan yang sudah Allah sematkan dalam hidup kita.

Dengan dua kunci tersebut, Sami’na wa’ato’na dan Al akhlash ‘alal qadar maka kita akan menjadi Al Muflikhun (pemenang). Dengan Sami’na wa’ato’na maka in syaa Allah kita akan selalu mendapatkan takdir baik dan dengan Al akhlash ‘alal qadar maka kita akan sampai pada derajat Al Mukhlasin (orang yang ikhlas) yang kemudian akan mengantarkan kita pada Al Muflikhun. Paparan tentang Sami’na wa’ato’na dan Al akhlash ‘alal qadar akan di bahas dalam artikel berikutnya. Semoga bermanfaat...

Bumi Allah, Senin 11 Maret 2013

الاثنين، 25 فبراير 2013

Tentang Penulis

Bismillahirrahmaanirrahiim... Assalamu’alaykum wr wb...

Ismi Rakhmawati Zakiyah. Shaadiqii da’akumi Kiki au Zaki. Ana Thaalibah min Ma’had Ali bin Abi Thalib, Jaami’ah Muhammadiyah Yogyakarta. Ana Thaalibah min Kulliyyati Muhandisan UGM aidhan lakin hadza kholas bi akhir. Wa ana Thaalibah min PMDS aidhan, askani hunaka, min Sleman Yogyakarta. Lakin, Ana min Pemalang. Ahlan wa sahlan. Ana sata’riful usrati... Ladayya waalid, waalidah, akhi kabiran wa ukhti shaghirah. Hadzihi shuuratul usrah.


Al awal: Hadzihi shuuratul waalidii Mukh Tamiludin wa waalidati Tuti Asih. Huma ‘amilun. Waalidii ‘Amil min Depag. Wa hua thaalib min STAIN Cirebon aidhan. Hua naskanu min pemalang bil waalidati. Hiya ‘Amil min Depdiknas. Hiya mudarrisah.

Atstsaani: Hadzihi shuuratul ukhti shaaghirah, waalidi wa waalidati. Ukhti ismuha Arini Hidayati. Hiya thaalibah min SMA N 1 Tegal. Hiya mustawa tsaalits. Umruha asyroh atsamaaniyah.

Atstsaalits: Hadzihi shuuratul akhi kabiran Puji Kurniawan. Hua ‘Amil. Hua yuriduu waladun wahidun. Ismuha Kansha Fahma Azizah. Zaujituha Ukhti Ria Pratiwi. Hua wa hunna maskuna min Pemalang.  

Uhibbukum fillah...

Bumi Allah, 25 Februari 2013

Hal-hal yang Menghalangi Seseorang dalam Menuntut Ilmu



Sebagai pelengkap artikel [Ta’lim Al Muta’allim] Adab dalam Menuntut Ilmu, dalam artikel kedua ini akan coba dipaparkan point-point tentang “Hal-hal yang menghalangi seseorang dalam menuntut ilmu” yang di ambil dari buku “Bimbingan Menuntut Ilmu” karya Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad as-Sadhan sebagai pelengkap artikel pengantar sebelumnya.

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya hanyalah ulama” (Qs. Fathir : 28)

Ketika seorang hamba semakin tahu tentang Allah, maka dia akan semakin berharap dan semakin takut kepadaNya. Ketika seseorang berkumpul dan bertemu dengan teman-teman yang mereka cintai untuk mempelajari ilmu dan mengajarkannya, hakikatnya itu merupakan amalan yang paling agung untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kaum salaf ada yang sampai menempuh perjalan jauh untuk mencari sanad. Bahkan hingga berjalan sebulan lamanya di padang pasir seperti yang pernah dilakukan oleh Abu Zur’ah dan Muhammad bin Nashr. Begitu juga dengan Syu’bah yang berjalan selama sebulan penuh untuk mencari hadist yang belum dia dapatkan sanadnya. Demikian juga dengan Jabir bin Abdillah. Nikmatnya ilmu yang telah Allah tancapkan dalam hati mereka telah membuat mereka melupakan susahnya perjalanan yang telah ditempuh.

Nabi pernah bersabda : “Barangsiapa yang menempuh perjalanan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memberikan padanya jalan menuju syurga. Sesungguhnya malaikat benar-benar mengepakkan sayapnya untuk penuntut ilmu karena ridha dengan apa yang dia kerjakan dan seorang ulama itu benar-benar akan dimintakan ampun oleh apa saja yang berada di langit dan di bumi, hingga ikan-ikan hiu yang berada di dasar air pun ikut memohonkan ampun untuknya. Keutamaan ulama dibandingkan dengan keutamaan ahli ibadah bagaikan keutamaan bulan purnama dibandingkan dengan keutamaan seluruh bintang. Ulama adalah para pewaris Nabi. Dan sesungguhnya para Nabi itu tidak mewariskan dinar dan tidak pula dirham, tapi mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya, niscaya dia telah mengambilnya dengan bagian yang banyak” (HR Imam Ahmad)

“Seandainya dalam mencari ilmu itu tidak ada keutamaannya kecuali hanya dekat kepada Allah, berada di alam malaikat dan berteman dengan makhluk-makhluk yang tinggi derajatnya, niscaya cukuplah hal itu sebagai kemuliaan dan keutamaan bagi orang yang menuntut ilmu. Bagaimana tidak, sedang kebahagiaan dunia dan akhirat hanya terdapat dalam ilmu dan tidak dapat di raih kecuali dengannya” (Ibnu Al-Qayyim)

10 Penghalang Dalam Menuntut Ilmu :

1.  Niat yang salah

Niat merupakan dasar dan rukun dari sebuah amal. Apabila niat itu rusak, maka rusak pulalah amal yang dikerjakannya. Sebagaimana sabda Nabi, “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang itu akan mendapatkan dari amalnya sesuai dengan apa yang dia niatkan” (Muttafaq Alaih). “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik” (Qs. Al – Ankabut : 69)

2.  Ingin terkenal dan ingin tampil

“Sesungguhnya manusia yang pertama kali di adili pada Hari Kiamat adalah tiga orang... hingga sabda beliau... dan orang yang mempelajari ilmu, mengajarkannya dan membaca Al-Qur’an. Ia dihadapkan kepada Allah, Allah memberitahukan kepadanya nikmat-nikmatnya dan iapun mengetahuinya. Allah bertanya kepadanya, “Apa yang kamu lakukan dengan nikmat-nikmat tersebut?” Ia menjawab, “Saya mempelajari ilmu, mengajarkannya dan membaca Al-Qur’an” Allah berkata, “Kamu bohong, sesungguhnya kamu mempelajari ilmu agar kamu dikatakan sebagai seorang ulama, kamu mempelajari Al-Qur’an agar kamu disebut sebagai pembaca Al-Qur’an, itu semua telah dikatakan untukmu” Kemudian Allah memerintahkan (untuk mengadzabnya), maka iapun ditarik wajahnya lalu dilemparkan ke dalam neraka...” Syahwat merupakan musibah kecuali bagi orang yang hatinya selalu ingat kepada Allah

3.  Lalai menghadiri majlis ilmu

Ilmu itu didatangi bukan mendatangi. Jika kebaikan yang didapat di dalam majlis ilmu hanya berupa ketenangan bagi mereka yang menghadirinya, cukuplah semua itu sebagai dorongan untuk menghadirinya. Orang yang menghadiri majlis ilmu mendapat dua keberuntungan, yaitu mendapatkan ilmu dan kebahagiaan akhirat.

4.  Beralasan dengan banyak kesibukan

Ini merupakan alasan syetan sebagai penghalang dalam menuntut ilmu.

Siapa saja yang belum pernah mencoba
Maka tidak akan tahu nilainya
Maka cobalah, niscaya kamu akan mendapatkannya
Bukti yang telah kami katakan
(Mandzumah ash-Shan’ani fi al-Hajj, hal 83)

5.  Menyia-nyiakan belajar di waktu kecil

Pahamilah ilmu agama sebelum tua (Umar bin Khaththab). Belajar hadist di waktu kecil itu seperti mengukir di atas batu. Abu Abdillah Imam Al Bukhari menasehatkan, “Tuntunlah ilmu walaupun setelah kalian tua, karena para sahabat Nabi belajar pada saat mereka sudah tua” Seluruh umur adalah kesempatan untuk mencari ilmu karena mencari ilmu adalah ibadah sebelum disibukkan oleh orang lain dan berbagai macam tanggung jawab baru lainnya, manfaatkanlah waktu muda untuk mencari ilmu, “Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)” (Qs. Al Hijr : 99)

6.  Enggan mencari ilmu

Di antara alasannya adalah mengikuti informasi terkini. Syariat adalah timbangan semua permasalahan. Saksi atas akar masalah dan pokoknya. Jika engkau tidak menanam, kemudian melihat orang yang mengetam, niscaya engkau akan menyesal karena tidak menabur benih. Di antara permasalahan yang disayangkan adalah anda melihat pemuda muslim marah apabila larangan Allah dilanggar dan menangis apabila keharaman Allah dilecehkan. Tetapi ia menyepelekan perbuatan maksiyat lainnya seperti ghibah dan namimah, dia tidak mengetahui hukum syar’i yang sederhana. Syaikh Ibnu Taimiyah adalah contoh yang patut untuk ditiru, beliau memahami kondisi yang terjadi disekitarnya, di zamannya ketika itu terjadi berbagai fitnah, musibah dan masalah tetapi beliau tetap menuntut ilmu karena beliau menyadari bahwa segala permasalahan akan bisa diselesaikan dengan berpegang teguh pada ilmu ushuludin.

7.  Menilai baik diri sendiri

Merasa bangga apabila dipuji dan merasa senang ketika mendengar orang lain memujinya. Tetapi berhati-hatilah terhadap pujian yang tidak terdapat pada diri anda “Dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan” [Qs Ali Imran : 188]. “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa” [Qs. An Najm : 32]. “Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih. Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendakiNya dan mereka tidak di aniaya sedikitpun” [Qs. An Nisa : 49]

8.  Tidak mengamalkan ilmu

Tidak mengamalkan ilmu termasuk salah satu penyebab hilangnya keberkahan ilmu. Orang yang memilikinya akan dimintai pertanggungjawaban atas ilmunya. Seorang sahabat, Ibnu Mas’ud berkata “Dahulu salah seorang dari kami jika telah mempelajari sepuluh ayat, ia tidak akan berpindah dari ayat-ayat tersebut kecuali setelah mengetahui maknanya dan mengamalkannya” Ali bin Abi Thalib pernah berkata “Ilmu itu dipanggil dengan cara mengamalkannya, bila dipanggil dia akan menjawab, tetapi jika tidak dipanggil maka dia akan pergi” mengamalkan ilmu dapat menguatkan tersimpannya ilmu, dan zakat ilmu adalah dengan mengamalkan dan mengajarkannya. Sesungguhnya kewajiban muslim dan muslimah itu ada 4; 1) ilmu; 2) mengamalkannya; 3) mendakwahkannya dan; 4) bersabar ketika menghadapi gangguan dalam mendakwahkannya.

9.  Putus asa dan rendah diri

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur” [Qs. An Nahl : 78]. Putus asa dan tidak percaya diri adalah penyebab tidak diperolehnya ilmu. Janganlah merasa rendah diri jika anda lemah hafalan, lemah pemahaman, lambat dalam membaca atau cepat lupa. Semua penyakit ini akan hilang jika anda meluruskan niat dan mencurahkan usaha. Maka kita akan memperolehnya, dengan kesungguhan yang terus menerus. Obat lupa adalah dengan senantiasa membaca kitab ! dan meninggalkan maksiyat adalah sebab utama dalam membantu kuatnya hafalan.

10.  Terbiasa menunda-nunda

Menunda adalah tentara syetan. Sesungguhnya berangan-angan adalah senjata iblis untuk menggoda manusia. Jangan harap bisa mengerjakan pekerjaan hari ini di hari esok, bisa jadi hari esok tiba dan engkau telah tiada....

Bumi Allah, Selasa 26 Februari 2013

السبت، 23 فبراير 2013

Ta’lim Al Muta’allim : Adab dalam Menuntut Ilmu



“Salam aku persembahkan kepada seorang perempuan yang agung yang menarik hati, aku buta karenanya. Bersinar pipinya dan berkilau matanya, ingin aku memboyongnya menjadikan aku bingung. Sehingga aku berkata: pergilah tinggalkan aku dan maklumilah karena aku ingin meraih ilmu, anugerah dan taqwa...” [Imam Najmuddin Umar bin Muhammad An Nasafi]

Sebuah refleksi diri. Betapa kuatnya tekad Iman Najmuddin Umar dalam menuntut ilmu. Betapa indah dan nikmatnya anugerah ilmu yang sudah dirasakannya sehingga beliau benar-benar rela meninggalkan keindahan dunia yang paling menggoda. Wanita dan (harta).

Sebagai soft opening lahirnya Semburat Cahaya Langit, dalam artikel pengantar ini akan dibahas tentang adab dalam mencari ilmu sebagai artikel dasar yang disadur dari kitab yang cukup tersohor (Ta’lim Al Muta’allim Karya Imam Burhan Al Islam). Bismillahirrahmanirrahim... Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Semoga ringkasan mini ini bisa memberikan kemanfaatan bagi para thaalib, thaalibah dan semua thaalibatul ilm yang ingin menuntut ilmu karena kesadaran dirinya betapa terbatasnya dirinya akan ilmu.

ADAB MENUNTUT ILMU

(Pos-1) Hakikat ilmu Fiqh dan keutamaannya

“Menuntut ilmu itu hukumnya wajib atas orang muslim, baik laki-laki maupun perempuan” Kewajiban menuntut ilmu dalam hadist di atas yang dimaksud adalah dalam hal ilmu ushuluddin (ilmu Agama dan  Fiqh). “Seutama-utamanya ilmu adalah ilmu agama dan seutama-utamanya amal adalah menjaganya” sehingga menjadi sebuah kewajiban bagi kaum muslim untuk memahami ilmu agama. Memahami hal yang paling fundamental dalam hidup, dari mana kita berasal? Untuk apa kita dihidupkan? Dan kemana kita akan pergi setelah kematian? Ketika seorang manusia sudah memahami hakikat hidupnya, maka dia akan berusaha untuk memahami rambu-rambu kehidupan yang tertuang secara tegas dalam Alqur’an dan Sunnah. Kita hidup di dunia hanya sementara dan pada ahirnya akan pulang ke kampung akhirat, layaknya seseorang yang akan pergi ke sebuah tempat yang jauh, ketika dia sudah memahami arah dan jalan untuk menuju ke sana, maka dia akan dengan mudah sampai ke tujuan. Sedang jika tidak mengetahui arahnya, maka dia akan tersesat. Itulah analogi hidup  akan paham tidaknya seseorang mengenai hukum-hukum kehidupan (syari’at). Dia yang paham maka akan selamat dan dia yang tidak paham maka akan tersesat.

“Sesungguhnya satu orang yang menguasai ilmu Fiqh serta wira’i itu lebih kuat mengalahkan syetan dibanding 1000 orang ahli ibadah”

“Ketahuilah, ilmu itu sungguh merupakan perhiasan bagi pemiliknya, dia adalah pertanda bagi tiap-tiap orang yang terpuji”

(Pos-2) Niat Ketika Mencari Ilmu

“Sesungguhnya amal perbuatan itu bergantung pada niat”

Banyak sekali amal yang berbentuk amalan dunia tetapi dikarenakan bagusnya niat bisa menjadi amalan akhirat. Begitu juga sebaliknya, banyak amalan akhirat yang dikarenakan jeleknya niatnya sehingga menjadi amalan buruk yang justru mengantarkannya ke neraka. Hendaknya para pencari ilmu berniat untuk menari ridha Allah dan menghilangkan kebodohan dalam dirinya serta pada orang-orang yang bodoh.

(Pos-3) Memilih Ilmu, Guru dan Teman

Dalam menuntut ilmu di anjurkan untuk memilih ilmu yang baik dan dibutuhkan dalam perkara agama. Mendahulukan ilmu tauhid dan mengenal Allah dengan segala kesempurnaanNya. Dan tidak memprioritaskan ilmu yang baru seperti filsafat, mantiq, dll karena akan menyia-niyakan umur dan membuang waktu.
Sedang dalam memilih guru di anjurkan yang pandai, hati-hati dalam masalah halal haram dan ahli wira’i.

“Ingatlah ! kamu tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan enam perkara. Cerdas. Semangat. Sabar atas cobaan dan ujian. Sak. Di ajar oleh guru. Dan membutuhkan waktu yang lama” [Ali bin Abi Thalib]

Dan dalam memilih teman, sebaiknya memilih teman yang tekun, ahli wira’i, berwatak baik dan cepat memahami perkara. Jauhilah teman yang bersifat malas-malasan, pendek akalnya, banyak bicaranya, membuat kerusakan dan ahli fitnah. Dari teman kita yang baik maka dekatilah, karena sekali-kali kita pasti akan mendapatkan petunjuk dari Allah melalui dia.

(Pos-4) Memuliakan Ilmu dan Orang yang Mempunyai Ilmu

Orang yang menuntut ilmu tidak akan memperoleh ilmu yang bermanfaat kecuali dengan menghormati gurunya. “Aku adalah hambanya orang yang mengajariku walaupun satu huruf” [Ali bin Abi Thalib]. Termasuk adab dalam memuliakan guru adalah dengan menghormati anaknya dan orang yang berhubungan dengannya.

Ciri-ciri mengagungkan ilmu di antaranya adalah;
1.  Memuliakan kitab dengan memegangnya dalam keadaan suci
2.  Meletakkan kitab di tempat yang (terhormat)
3.  Memperindah tulisan (catatan)
4.  Tidak menulis dengan warna merah karena ulama salaf tidak melakukannya

Termasuk adab memuliakan ilmu adalah dengan menghormati teman, mendengarkan guru, tidak duduk di dekat guru kecuali terpaksa, menjaga ilmu dengan akhlaq mulia dan menjauhi sifat sombong karena ilmu dapat diperoleh dengan kerendahan hati.

(Pos-5) Sungguh-sungguh, Tidak Bosan dan Bercita-cita

“Orang-orang yang bersungguh-sungguh mengharap keridhaan Kami, maka akan Kami tunjukkan jalan kepada mereka”

“Bersungguh-sungguh itu mendekatkan perkara yang jauh dan membuka pintu yang terkunci” [Syeikh Sadiduddin As Syafi’i]

Sebaiknya orang yang menuntut ilmu itu tidak tidur di malam hari, barangsiapa yang memiliki cita-cita tinggi dan ingin menemui derajat mulia maka janganlah tidur di malam hari. Jauhilah tidur. Sedikitkan makan. Jagalah dari kenyang. Teruslah belajar dan mengulangnya. Belajarlah terus menerus jangan sampai bosan. Jagalah diri dari makanan haram. Jauhilah menunda waktu..

“Barangsiapa yang mempunyai cita-cita yang luhur tanpa disertai kesungguhan atau bersungguh-sungguh tapi tidak disertai dengan cita-cita yang luhur maka tidak akan berhasil kecuali ilmu yang sedikit”

“Orang yang berilmu itu selalu hidup walaupun jasadnya sudah tidak ada, tetapi orang bodoh yang hidup itu seperti mayat yang hidup”

Malas itu menimbulkan riya’. Riya’ itu dikarenakan banyak minum. Banyak minum itu disebabkan banyak makan. Sedangkan untuk mengurangi makan adalah dengan memilih makanan yang sehat dan halal. Bersiwak itu bisa mengurangi sifat riya’. Membuat menjadi cepat hafal. Dan berguna untuk kefasihan lidah karena dia akan menambah pahala sunnah.

“Ada tiga orang yang Allah benci, mereka itu adalah yang banyak makan, pelit dan sombong.”

Banyak makan dibenci oleh Allah karena banyak makan menyebabkan penyakit dan buntunya otak. Sebagian ulama berpendapat kebanyakan makan dapat mengurangi kecerdasan.

(Pos-6) Mengawali Belajar, Ukuran dan Urutannya

Rasulullah bersabda, “Tidak ada suatu apapun yang didahului pada hari rabu kecuali untuk mencapai hakikat kesempurnaannya”

Iman Abu Hanifah selalu memulai suatu pekerjaan di Hari Rabu. Syaikhul Islam Burhanudin juga biasa menetapkan dan membiasakan mengawali belajar pada Hari Rabu. Begitupula dengan Syekh Abu Yusuf Al Hamdani yang selalu membiasakan setiap amal dari beberapa amal kebaikan di Hari Rabu.

Kadar ukuran belajar adalah semampunya, yakni yang mungkin bisa di hafal dan dikaji dengan mengulang dua kali, menambah setiap hari dengan satu kalimat walaupun membutuhkan waktu yang lama untuk menghafal dan mengkajinya, pelan-pelan dan memiliki harapan serta tekad bahwa dia mampu menghafal dan mengkajinya. Ketika sudah di ulang dua kali tetapi belum hafal maka di ulang terus hingga hafal. “Belajar satu huruf, mengulang seribu kali”. Sedikit materi jika sering di ulang maka akan lebih cepat paham dan berhasil.

Layanilah ilmu dengan layanan yang berguna. Kekalkan ilmu dengan perbuatan terpuji. Ketika kau menghafalnya maka ulangilah. Kuatkan dengan kekuatan penuh untuk menjaganya. Catatlah ilmu agar kau mudah mengulanginya. Dan pelajarilah untuk selamanya. [Syekh Imam Qawamudin Hamad bin Ibrahim bin Ismail As Shafari]

“Maka ketika engkau merasa aman atas apa yang kamu hafal. Maka bergegaslah pada selanjutnya yang baru serta mengulangnya akan hal yang sudah kau lalui dan bergegas pada hal tambahannya”    

Diskusi atau musyawarah akan memberikan pemahaman yang lebih luas akan sebuah ilmu. Hikmah dari berdiskusi adalah dia akan lebih kuat menancap dibandingkan mengulang-ngulang pelajaran (tikrar). Sebagian ulama berpendapat bahwa diskusi atau musyawarah selama satu jam itu lebih baik dibandingkan mengulang-ngulang pelajaran (tikrar) selama satu bulan.

Imam Abu Hanifah berkata, “Ketika aku mendapat ilmu maka aku akan bersyukur kepada Allah, ketika aku memahaminya maka aku akan berkata Alhamdulillah dan bertambahlah ilmuku, begitu juga seterusnya”

(Pos-7) Tawakkal

Orang yang menuntut ilmu wajib bertawakkal, tidak prihatin akan rizki dan tidak menyibukkan dirinya dengan rizki. Karena Allah akan mencukupinya. “Barangsiapa belajar ilmu agama di jalan Allah, maka Allah akan mencukupi kebutuhannya dan memberi rizki tanpa di sangka-sangka”. Termasuk kesibukan hati dalam masalah rizki adalah makanan dan pakaian. “Sekali-kali janganlah engkau sibukkan dirimu dengan keinginanmu” [Imam Mansyur Al Hajjaj]

(Pos-8) Waktu yang Dapat Menghasilkan Ilmu

“Carilah ilmu dari kecil sampai ajal menjemput”. Waktu yang utama untuk belajar di antarnya adalah; 1) pada usia muda; 2) waktu sahur; dan 3) waktu antara maghrib dan isya. Syekh Muhammad bin Hasan tidak pernah tidur di malam hari, pada saat beliau mengantuk beliau akan meneteskan air pada mata beliau sehingga kantuknya hilang.

(Pos-9) Kelembutan dan Nasihat

Orang yang berilmu baiknya bersikap lembut, arif, memberikan nasihat yang baik dan tidak dengki. Semua orang alim menginginkan putranya, santrinya dan jamaahny menjadi orang yang alim pula, sehingga mereka mengajarkan dengan penuh kelembutan dan kesabaran. “Jauhkanlah pikiranmu dari prasangka buruk dan diamlah dengan kejernihan bathinmu dengan perkataan orang-orang bodoh”

(Pos-10) Mencari Keutamaan Ilmu

Sebaiknya orang yang menuntut ilmu itu mencari manfaatnya ilmu di setiap waktu, sampai menemukan keistimewaan dan kesempurnaan ilmu. “Malam itu waktu yang panjang, maka janganlah engkau mempersingkat waktu malam, siang itu terang, maka janganlah engkau kotori dengan dosa”

(Pos-11) Wira’i ketika Menuntut Ilmu

“Rasulullah bersabda, Barangsiapa dalam menuntut ilmu tidak wira’i maka Allah memberikan cobaan padanya satu dari tiga perkara; 1) Allah memberikan kematian pada umur muda; 2) Allah akan menempatkan ke suatu tempat (desa) yang orang-orang sekelilingnya banyak kebodohan; dan 3) Allah menjadikannya pesuruh sultan (pemimpin)”

Jika orang yang manuntut ilmu semakin wira’i maka ilmunya lebih manfaat dan belajarnya lebih mudah, serta faedahnya (hasilnya) lebih banyak. Hal yang termasuk perbuatan wira’i adalah;
1.  Menjaga diri dari makan yang kenyang
2.  Menjaga diri dari banyak tidur
3.  Menjaga diri dari berbicara yang tidak manfaat
4.  Menjaga diri dari makanan pasar
5.  Menjaga diri dari ghibah
6.  Menjauhi ahli ma’shiyat
7.  Duduk dalam keadaan menghadap kiblat ketika menuntut ilmu
8.  Tidak meremehkan adab sunnah
9.  Banyak membaca shalawat
10.  Khusuk dalam shalat

“Jagalah perintah dan larangan Allah. Lakukanlah shalat dengan rajin. Carilah ilmu syari’at. Bersungguh-sungguhlah dan mintalah pertolongan dengan amal dan akhlaq yang bagus maka kamu akan menjadi alim fiqh dan bisa menjaganya. Mintalah pada Tuhanmu yang bisa menjaga penjagaanmu dan bisa melahirkan rasa cinta akan anugerahNya karena Allah adalah sebagus-bagus penjaga. Taatlah pada Allah dan Rasulnya. Bersungguh-sungguhlah dan jangan bermalas-malasan. Tidurlah kamu dengan sedikit pada malam hari maka kamu akan menjadi makhluk pilihan”

Sebaiknya orang yang menuntut ilmu selalu membawa buku supaya bisa mengulang pelajaran yang dipelajarinya.

(Pos-12) Perkara yang Bisa Menjadikan Hafal dan Lupa

“Tidak ada sesuatu yang bisa menjadikan hafal melebihi dari membaca Alqur’an dengan melihat”. Membaca Alqur’an dengan melihat itu lebih utama dibandingkan dengan tidak melihat. “Jauhi ma’shiyat maka hafalanmu akan kuat”. 

Bumi Allah, Sabtu 23 Februari 2013

الجمعة، 22 فبراير 2013

Ahlan wa Sahlan


Sejenak merenung. Betapa terbatasnya manusia akan ilmu. Dan manusia benar-benar makhluk yang memiliki keterbatasan yang sangat terbatas. Sungguh ilmu Allah Maha Luas, bahkan jika air yang ada di lautan dijadikan sebagai tinta untuk menulisnya dan di isi kembali untuk menulisnya, maka sekali-kali tidak akan cukup. Blog yang Insya Allah berisi vitamin-vitamin hati ini semoga saja bisa menuntun PERJALANAN HATI kita menuju jalan keselamatan. 

Let’s come to be a prosperous heart, reach ! Qalbun Salim.... 

Berangkat dari fokus artikel dalam blog ini menjadikan nama “Semburat Cahaya Langit” muncul sebagai nama sebuah blog mini yang semoga saja menginspirasi dan bisa dijadikan sebagai sarana pelepas dahaga antunna semua akan ilmu. Blog ini muncul sebagai buah dari refleksi diri akan keterbatasan ilmu yang dimiliki, dan kita bersama mencari ilmu Allah yang Maha Luas. Semoga ilmu yang sedikit ini bermanfaat.... Insya Allah di rangkum dari catatan pribadi yang di transfer oleh Abi tercinta, Ustadz Syatori Abdurra’uf. Uhibuka fillah Abi. Jazakumullah bil jannah. You are really inspiring... so much ! You are my glowing star  Thanks for everything you have taught. May Allah bless you until Yaumil Akhir. And meeting us and the other in His beautiful, peaceful, elegance, and wonderful heaven.  Aamiin.   

Semoga kita termasuk golongan manusia yang memiliki Qalbun Salim (Hati yang selamat). Sehingga kelak bisa pulang ke negeri akhirat dengan tenang, bahagia dan penuh kerinduan. Kerinduan akan wajah Allah, kerinduan untuk berkumpul dengan manusia-manusia mulia dan kerinduan akan rumah akhirat yang penuh dengan keindahan dan kebahagiaan hakiki.

“Jangan Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan (yaitu) pada hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna. Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih” [Qs. Asy Syu’araa [26] : 87-89 ]

Salam ukhuwah
[Kiki] Rakhmawati Z