Akhlaq adalah kenyataan hari
ini. Tetapi terkadang kita selalu mengatakan, “inginnya
saya tidak memiliki rasa benci pada seseorang, inginnya saya selalu menjadi
yang pertama dan selalu berada di shaff pertama saat shalat berjamaah, inginnya
saya selalu bisa shalat malam, inginnya saya selalu bisa melaksanakan puasa
sunnah, inginnya saya selalu bisa berbagi, inginnya saya selalu bisa membantu,” dan berbagai macam keinginan lainnya.
Kita selalu mengatakan INGIN, tetapi tidak tau kapan merealisasikannya?? Akhlaq
adalah kenyataan, bukan sekedar keinginan. Dia dilakukan, bukan sekedar angan-angan.
Yang perlu diperhatikan
disini adalah, bahwa ada pengaruh dalam menentukan terlaksana atau tidaknya
suatu keinginan. Dan itu bisa berasal dari dorongan internal maupun eksternal.
Dorongan internal berasal dari diri kita sendiri, ketika kita sudah memahami
bahwa dengan berakhlaq baik kita akan mendapat pahala yang besar maka dorongan
itu akan muncul dengan sendirinya. Dorongan eksternal berasal dari lingkungan.
Dorongan ini diperlukan supaya kita bisa “memaksa” diri untuk merespon suatu
persoalan dengan tenang yang tertuang dalam akhlaq yang baik. Contoh sederhana,
agar kita bisa menjadi orang sabar, maka harus ada faktor eksternal yang tidak
menyenangkan, seperti bersahabat dengan orang yang tidak menyenangkan. Jika
kita berteman dengan orang yang tidak menyenangkan dan selalu menyusahkan
orang, maka akan ada banyak kesempatan bagi kita untuk berlatih sabar. Lalu,
jika kita selalu berteman dengan orang-orang yang baik, yang menyenangkan,
bisakah kita berlatih untuk bersabar? Bisa... Yaitu bersabar untuk menjadi
teman yang sebaik dia pula. Karena berusaha untuk selalu menjadi baik juga
merupakan sebuah kesabaran.
Ketika ada teman yang baik,
dan dia selalu berbuat baik kepada kita, apa yang biasanya kita lakukan?
Membalas kebaikannya dengan yang lebih baik atau justru memanfaatkan
kebaikannya? Ini merupakan bentuk ujian, Allah ingin mengetahui, respon
(akhlaq) seperti apakah yang akan muncul dari dalam diri kita ketika kita
dibersamakan dengan sosok yang baik. Dan
sebaik-baik manusia adalah yang membalas kejelekan dengan kebaikan dan membalas
kebaikan dengan yang lebih baik.
Lalu bagaimana kita merubah
keinginan kita menjadi kenyataan?? Orang mukmin yang baik adalah orang
yang mau bergaul dengan siapa saja dan sabar. Sabar dengan segala keadaan dan
teman yang bermacam-macam karakter. Rasul pernah bersabda, bahwa orang-orang
seperti ini lebih baik dibandingkan orang yang menyendiri dan rajin dengan
ibadahnya. Tetapi seringkali kekhawatiran bermunculan dalam diri kita,
terkadang kita berfikir, bahwa kita akan terbawa jelek ketika berada
dilingkungan yang jelek. Jika kita merasa seperti ini maka sebenarnya kita
sudah jelek sebelum kejelekan itu datang. Seharusnya kita menumbuhkan
budaya positive thingking dalam
diri kita, kuat dan bertahan dengan kebaikan yang ada di dalam diri kita. Agar
kita bisa menjadi pelangi bagi yang lain.
Bukankah kita akan menjadi
orang yang lebih berharga dimata orang lain ketika kita menjadi orang baik
dilingkungan yang jelek dibandingkan menjadi orang baik dilingkungan yang baik?
Manakah yang akan memberikan hamparan pahala lebih luas, baik dilingkungan
baik, atau baik dilingkungan jelek?
Lalu bagaimana supaya kita bisa menjadi baik, bukankah kekhawatiran itu selalu ada? Dan kekhawatiran ini adalah manusiawi. “Bagaimana saya bisa baik jika saya berada di tengah orang-orang yang keras?”, “bagaimana saya bisa lembut jika saya berada di tengah orang-orang yang kasar”. Jangan gantungkan kebaikan kita pada apapun diluar diri kita. Sebab orang yang menggantungkan kebaikan pada apa yang ada diluar dirinya, justru akan membuatnya menjadi tidak baik. Tetapi, kuat dan bertahanlah dengan kebaikan yang ada di dalam diri kita.
Tetapi diluar sana, banyak
juga orang yang menggantungkan kebaikannya pada waktu, “Nanti deh, baiknya pas
ramadhan aja....” Ada juga yang berdasarkan tempat, “Saya akan baik jika saya
berada di tempat yang baik....” jangan pernah menggantungkan kebaikan pada
sesuatupun, tetapi lakukanlah kapanpun, dimanapun, ketika bersama siapapun.
Karena Allah akan menilai setiap jengkal langkah kita dalam beramal. Dan Rasul
adalah sebaik-baik tauladan...
Bumi Allah, 18 April 2013